YUDIN HITIMALA. S.Pt.
Mantan Koordinator Wilayah V Ikatan Senat Mahasiswa
Pertanian Indonesia (ISMPI).SekBid. Riset & Pengembangan Keilmuan DPD Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Maluku.
Mantan Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Pulau Buano
(HIPMA Nusa Puan) Maluku.
Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Peternakan Fakultas
Pertanian Unpatti.
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Hutan Unpatti.
Pada masa purba kala, para nenek moyang kita sudah mampu
berfikir jauh mengenai aspek penghidupan dan kehidupan mereka layaknya manusia
yang hidup pada era modern saat ini. Mereka berfikir tentang bagaimana
merefleksikan alam sekitar untuk dapat mempengaruhi kehidupan mereka
sehari-hari. mereka mencoba untuk menyembah roh, hantu atau dewa-dewa yang di
yakininya dapat mengontrol kekuatan alam.
Seiring berjalannya waktu, hingga pada masa pra sejarah
peradaban manusia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan hidup yang pesat
dengan jalan berpindah-pindah tempat sebagai upaya untuk mencari lingkungan
alam yang mampu memberi kehidupan yang baik sehingga pada akhirnya kondisi ini
secara tidak sengaja menemukan cara pandang bertani adalah cara maju untuk
menjaga eksistensinya di muka bumi. Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa di
zaman yang freminif pun para nenek moyang kita sudah membutuhkan sarana
produksi pertanian terutama lahan untuk mempertahankan eksistensinya di muka
bumi.
Ketika berbicara Indonesia dalam kontek hari ini semua orang
berbicara Negara kita adalah Negara agraris, artinya ketika berbicara agraris
tentu di benak kita alat produksi utama masyarakat adalah tanah. Namun, yang
menjadi persoalan yang begitu marak di Indonesia hari ini adalah tidak teraksesnya
lahan /tanah (land) sebagai sumberdaya produksi untuk masyarakat yang
berprofesi sebagai petani khususnya.
Tanah (lahan) sebagai faktor produksi utama seluruh
sumberdaya alam merupakan faktor produksi asli karna sudah tersedia dengan
sendirinya tampa harus diminta oleh manusia. Tetapi yang menjadi persoalan
adalah mencari cara bagaimana manusia bisa menggali, menggunakan dan memproses
kekayayan alam sehingga dapat berlangsung secara terus-menerus untuk
kesejahtraan umat manusia. persoalan serius juga ketika manusia (petani)
mengelola lahannya di benturkan dengan konflik lahan seperti yang kita saksikan
di media yang terus terjadi saat ini.
Konsep pengelolan sumberdaya alam yang di buat oleh Bangsa
kita saat ini sejatinya untuk mempertahankan eksistesi manusia di muka bumi.
Lalu apa jadinya ketika manusia yang notabenya sebagi tujuan mengelola
sumberdaya alam itu tidak mampu bertahan hidup karna tidak dapat makan. Jika di
runut tidak makan karna tidak bekerja, tidak bekerja karna tidak ada pekerjan,
inilah logika yang pernah di sebut pendiri bangsa kita Sang Proklamator Bung
karno sebagai hukum alam atau undang-undang alam.
Jikalah hukum alam menjerumuskan kita pada sebuah dilematis
yang hanya memperkeruhkan umat manusia pada sebuah kematian, lantas dimanahkan
eksistensi manusia sebagai Qhalifa di muka bumi yang dapat memanfaatkan alam
sekitar untuk kecakupan hidupnya. Ini akan menjadi sebuah ilustrasi fenomenal
terhadap peran Bangsa di masa kini dan akan datang. Apalagi dengan kondisi yang
makin pesat saat ini mengenai semakin menyempinya ruang pertanian untuk dapat
memproduksikan komoditi-komuditi pangan dan sehubungannya dengan realitas
ancaman krisis pangan dunia yang diprediksikan oleh organisasi pangan dunia
(FAO) dimana akan terjadi pada tahun 2045.
Melihat realitas kekinian, kondisi pertanian di Bangsa ini
selalu diperhapkan pada posisi dilematis, tanah atau lahan menjadi cautan
malapetaka yang semakin menjerumuskan pertanian ke arah kebinasaan, di sisilain
kebijakan hukum yang diatur oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam berbagai
regulasi seakan redup dalam pusaran hedonis, pragmatisme, dengan semangat
kapilalisasi. Sehingga rakyat dalam hal ini adalah petani selalu menjadi tumbal
atas ambisius pemerintah dan golongan-golongan feudal.
Kondisi keprihatinan mengenai kemandirian pangan Bangsa ini
hanya selalu dieluh-eluhkan oleh pemerintah melalui nyanyian-nyanyian dan syair
pantunan kesejahteraan rakyat. Namun implementasinya justru kepentingan rakyat
tersebut malah menjadi tumbal atas kerakusan dan apatisme kaum elitis dan
borjuis. Lantas pengkampanyean pemerintah atas kedaulatan NKRI yang lebih
dititik beratkan pada aspek hukum dan politik sedangkan bagaimana dengan
kedaulatan Negera dari sisi kemandirian pangannya. Padahal Bung Karno perna menyatakan
juga bahwa “bicara soal pertanian adalah bicara soal hidup dan matinya manusia”
Oleh karena itu, melalui penetapan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang sudah
sering kali di sosialisasikan oleh Pemerintah dan bahkan sampai ke dunia kampus, bahkan telah ada penerbitan perda Maluku
tentang tataguna lahan maka diharapkan pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi Maluku haruslah seobjektif mungkin dalam mengoptimalkan tataguna lahan
sebagaimana fungsi dan kegunaannya. Apalagi dengan realitas Wilayah Maluku yang
di atas 90% berwilayah laut dan persentasi kecilnya adalah daratan maka
pemerataan pembangunan harus mempertimbangkan semua aspek yang berkepentingan,
dan sektor pertanian terutama sub sektor pangan harus menjadi yang diprioritaskan.
Banyak studi kasus pengalihan fungsi lahan yang dilakukan
oleh pemerintah Maluku saat ini, lahan-lahan pertanian masyarakat banyak dialih
fungsikan untuk kepentingan investasi dengan alasan yang sederhada adalah untuk
kepentingan pertumbuhan dan perbaikan ekonomi daerah padahal peruntukannya
hanya didominasi untuk belanja-belanja birokrasi karena merupakan akumulasi
keuangan dari asset pendapatan daerah (PAD).
Disisi lain, masyarakat dalam hal ini petani lokal kita tidak
memililiki posisi tawar atas perlindungan hukum yang baik. Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 Tetang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011
tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tidak sepenuhnya mendukung
posisi tawar petani atas keluh-kesah yang mereka alami, dan regulasi yang
dicetuskan oleh pemerintah akan dikembalikan kekuatan eksekusinya untuk
kepentingan monopoli pemerintah itu sendiri.
Dari kondisi-konsisi fenomenal mengenai dilematisnya posisi
pertanian Maluku dan Indonesia saat inilah yang membuat turunya minat para
generasi muda dalam menekuni bidang pertanian dan sangat sedikit anak muda yang
mau menjadi petani. ditambah lagi banyak jumlah petani yang kurang mengetahui
teknologi-teknologi pertanian serta modal usahatani yang tidak memadai membuat
kondisi pertanian negeri kita ini kian terpuruk.
Disisi lain juga ada paradigmatis yang menganalogikan bahwa
sahnya kegiatan bertani adalah sebuah pekerjaan berat dan menjadi ketekunan
profesi golongan masyarakat terjajah, keterbelakangan, dan kaum miskin. Dari
sinilah kita harus berfijak mengenai kemana arah dan tujuan yang harus ditempuh
pemerintah untuk memperhatikan sektor pertanian dan para petani yang bekerja
dalam menyediakan produk-produk pangan yang setiap saatnya kita santap di atas
meja makan. Karena jika semua orang akan meninggalkan profesi bertani dan
beramai-ramai menekuni pekerjaan lain lantas nantinya kita mau memakan pangan
apa?
Semoga kedepan sekror pertanian mendapat perhatian dari pemerkntah daerah terkhusus PEMDA SBB agar sektor pertanian dapat berkonrtibusi nyata dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat. semoga.
BalasHapus