Roemah Kreatif Institut

Roemah Kreatif Institut Area - Lepa Hena Generasi Huamuale

Jumat, 20 Januari 2017

Senyawa Politik ber-katalis godaan kekuasaan





                                                             ARJUDIN                                                                 
Mahasiswa  Kimia FMIPA Unpatti
Aktivis. PMII(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)



Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power.
-- Abraham Lincoln,,,,,
"semua orang tahan dengan kesengsaraan, tetapi apabila ingin mengetahui karakter seseorang,
berilah dia kekuasaan". 

Hiruk pikuk politik saat ini, seperti euforia pertandingan sepak bola yang mampu membius seluruh pecintanya untuk berkomentar dari huruf A sampai huruf Z,,,…itulah  fenomena yang dapat kita nikmati secara visual dan audio visual…Politik selalu menarik minat  banyak orang untuk di perbincangkan. Setiap kali suksesi kepemimpinan, tema ini ramai  dibicarkan. Mulai dari rakyat jelata, hingga elit penguasa. Kekuasaan itu bicara hajat hidup orang  banyak. Karenanya, tidak sedikit orang tertarik untuk ambil bagian didalamnya. 

Apakah itu sebagai pelaku utama, pengamat, atau hanya sekedar obrolan ringan di warung kopi. Naluri berkuasa adalah fitrah manusia. Hanya saja, yang perlu di perhatikan adalah, motivasi orang untuk berkuasa, cara mendapatkan kekuasaan, dan untuk apa kekuasaan  itu di gunakan???. 

Karl R. Popper, mengatakan, ada tiga alasan mengapa politik dan kekuasaan selalu  menjadi tema central pembicaraan dalam setiap suksesi kepemimpinan.
Pertama, Kekuasaan mempengaruhi seluruh umat manusia, dengan segala aspek  kehidupanya. Disamping itu, nasib manusia banyak di tentukan oleh para pemegang  kekuasaan politik.

Kedua, Manusia cendrung memuja kekuasaan. Pemujaan terhadap kekuasaan adalah, bentuk berhala paling buruk dalam sejarah umat manusia, yang merupakan salah satu  peninggalan zaman perbudakan. 

Ketiga, Kekuasaan yang di pegang cendrung menyatu dengan naluri ingin dipuja dan  dihormati. Bahkan dengan segala kuasa yang ada, para pemegang kekuasaan berupaya  memaksa orang agar memuja mereka.  

Sejarah mencatat, kekuasaan kerap kali menyimpang dari motivasi awal mengabdi untuk  rakyat. Bahkan, Tidak sedikit yang tergelincir oleh godaan kekuasaan. Idealisme kadangkala,  bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan kepentingan pragmatis. Sehingga banyak kita jumpai  dalam sejarah pemimpin yang gagal landing mensejahterakan rakyat. Pada saat yang sama,  sejarah pula mencatat pemimpin yang berprestasi, dan tidak sedikit apresiasi mengalir atas kepemimpinanya. 

Idealismenya tidak goyah di hantam badai gemerlap kekuasaan. Orang seperti ini, memahami kekuasaan sebagai sarana untuk mengabdi. Dengan kekuasaan yang di pegangnya, ia  bisa melakukan banyak hal untuk rakyat. Memang, secara leksikal politik berarti kegiatan dalam  Negara untuk mengurus kesejahteraan warga Negara, atau kegiatan yang berurusan dengan  kepentingan Negara. Dalam arti yang lebih luas politik mengacu pada perwujudan hak-hak seseorang sebagai warga Negara. 

Tujuan etis kegiatan politik adalah menghumanisasikan hidup, artinya dengan kegiatan  politik manusia makin berkembang untuk mewujudkan hak-hak dan melaksanakan tanggung  jawabnya sebagai warga Negara. Politik yang benar membebaskan dan memerdekakan manusia  dari segala bentuk penindasaan, kekerasaan politik, pemerasaan, pemerkosaan, manipulasi,  ketidakadilan, kebodahan dan kemiskinan dalam kehidupan bersama. Kondisi politik sebagai humanisasi hidup mengalami pergeseran makna ketika praktis politik dikomersialkan untuk  kepentingan pribadi kaum elite politik atau sekelompok partai yang berkuasa dalam suatu  Negara. Demikian adanya ketimpagan politik dewasa ini dengan menyatakan bahwa nilai etis  politik sangat bergantung pada kepentingan yang punya kepentingan. 

Politik dijadikan ajang perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan. Kegiatan politik dipakai  oleh sejumlah elite untuk mengumpulkan kekayaan dan mencari prestise pribadi. Ketimpangan  praktik politik merebak pada ketimpangan factor empiris lain yaitu ekonomi. Dapat dikatakan  bahwa siapa yang menguasai bidang politik dengan sendirinya juga menguasai kehidupan  ekonomi. Siapa yang mau menguasai ekonomi harus menguasai politik. 

Suatu keunikan yang sedang menggejala di tengah masyarakat umum yakni seakan-akan  menikmati gejala ‘politik plesetan’ dimata rakyat tampilan elite politik nasional bagaikan  selebritis terkenal yang enak dijadikan tontonan public, Pada hakikatnya politik sebenarnya  menjadi permainan cantik tentang usaha mencapai kompromi untuk tujuan bersama, bukan  sebaliknya berubah menjadi adu kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan  menyakinkan banyak pihak, bukan melakukan yang mendatangkan tirani.  Oleh karena itu, tiap pihak dan kekuatan politik perlu menyadari bahwa kebaikan dan  kebenaran politik adalah yang didukung mayoritas dan saling menguntungkan banyak pihak. 

Empat dimensi kekuasaan
Sejak Robert H Dahl menggulirkan definisi mengenai kekuasaan, wacana tentangnya  berkembang. Dahl menjelaskan, A memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat memengaruhi B  untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tak dikehendaki B. Dalam Concise Dictionary of  Politics, McLean dan McMillan (2003) memperjelas bahwa A punya pengaruh atas pilihan dan tindakan B, selain A memiliki kapasitas menggerakkan pilihan dan langkah B, sekaligus dalam  mengesampingkan perlawanan B. Hubungan A dan B adalah bagian dari suatu struktur sosial  dan cenderung terus berlangsung. 

Kekuasaan versi Dahl ini dikategorikan:
a.  sebagai pandangan satu dimensi kekuasaan (one-dimensional view of power). Intinya, ia  memfokuskan pengamatannya pada tingkah laku aktor politik dalam proses pengambilan  keputusan terhadap berbagai isu kunci, yang memunculkan konflik aktual antar- kepentingan subyektif yang sifatnya bisa diamati. Kepentingan dilihat sebagai pilihan- pilihan kebijakan yang diungkapkan melalui partisipasi politik sehingga konflik  kepentingan identik dengan konflik preferensi kebijakan.
b. Pandangan dua dimensi kekuasaan (two-dimensional view of power) yang dikemukakan  Bachrach dan Baratz, melihat kekuasaan tidak sekadar melibatkan para pengambil  keputusan, tetapi juga yang bukan pengambil keputusan. Lantas,
c. pandangan tiga dimensi kekuasaan (three-dimensional power), sebagaimana disampaikan Lukes, melihat kekuasaan mungkin saja digunakan dalam situasi konflik  potensial atau laten. Lukes berpendapat penggunaan kekuasaan adalah suatu fungsi dari  kekuatan kolektif dan pengaturan sosial. 

 Di Poskan Oleh:
Renan Militan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar